Pembunuh Zoya Dosa Besar, Dalam Syariat Islam Harus Diqishash
Melakukan penganiayaan, bahkan membakar hidup-hidup seseorang yang baru diduga melakukan pencurian ampli hingga tewas adalah tindakan brutal dan dosa besar.
Muhammad Al-Zahra (Zoya), pria tukang service spesialis soundsystem dan amplifier, tewas dalam Tragedi Ampli Berdarah Bekasi. Dalam perjalanan pulang ke rumah ia ditangkap karena dituduh mencuri ampli di mushalla tempat. Tanpa pembuktian dan pengadilan, ia dianiaya secara biadab, dikepruk, ditelanjangi, diseret, disiram bensin dan dibakar hidup-hidup hingga tewas, di Pasar Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi, pada hari Selasa (1/8/2017).
Menyikapi kasus Zoya dalam kerangka syariat Islam, ada beberapa point yang perlu diperhatikan, sebagaimana penjelasan berikut ini:
PERTAMA, harus ada dua orang saksi yang melihat aksi pencurian.
Pencurian dianggap terbukti apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang sama-sama melihat terjadinya tindak kejahatan itu. Jika yang satunya melihat sendiri perbuatan itu dan yang satu lagi hanya mendengar dari orang lain, kesaksian keduanya tidak dapat diterima.
Menurut kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, kesaksian dua orang baru dianggap sah sebagai alat bukti yang mewajibkan potong tangan pelakunya, bilamana ada pengaduan dari pihak yang kecurian. Maka jika tidak ada aduan kecurian, kesaksian dua orang itupun dianggap tidak sah sebagai alat bukti.
Ibnu Mundzir rahimahullah menjelaskan, ”Para Ulama sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.”
KEDUA, Dalam syariat Islam, pelaku pencurian hanya dipotong tangannya, itu pun bila uang atau barang yang dicuri mencapai nilai tiga dirham, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
“Bahwa Rasulullah memotong tangan
seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham” (Muttafaqun ‘Alaihi).
KETIGA, tindak pidana pencurian bukanlah dosa besar yang berimplikasi pada hukuman eksekusi mati. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al Ma’idah: 32).
KEEMPAT, membunuh adalah dosa besar, apalagi ditambah dengan cara membakar hidup-hidup, dosanya lebih besar lagi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang membunuh dengan menggunakan api,
لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ
“…Tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhannya api (yaitu Allah).” (HR. Abu Daud 2673).
KELIMA, pelaku pembunuhan dalam syariat Islam harus diqishash. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa( dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al- Maidah: 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ () وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, qishash diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,dan hendaklah ( yang diberimaaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginyasiksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 178—179). Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar